I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Zona intertidal adalah zona
littoral yang secara reguler terkena pasang surut air laut, tingginya adalah
dari pasang tertinggi hingga pasang terendah.
Didalam wilayah intertidal terbentuk banyak tebing-tebing, cerukan, dan
gua, yang merupakan habitat yang sangat mengakomodasi organisme
sedimenter. Morfologi di zona intertidal
ini mencakup tebing berbatu, pantai pasir, dan tanah basah / wetlands.
Keragaman faktor lingkungannya
dapat dilihat dari perbedaan (gradient) dari faktor lingkungan secara fisik
mempengaruhi terbentuknya tipe atau karakteristik komunitas biota serta
habitatnya. Sejumlah besar gradien ekologi dapat terlihat pada wilayah
intertidal yang dapat berupa daerah pantai berpasir, berbatu maupun estuari
dengan substrat berlumpur. Perbedaan pada seluruh tipe pantai ini dapat
dipahami melalui parameter fisika dan biologi lingkungan yang dipusatkan pada
perubahan utamanya serta hubungan antara komponen biotik (parameter
fisika-kimia lingkungan) dan komponen abiotik (seluruh komponen makhluk atau
organisme) yang berasosiasi di dalamnya. Dari keregaman factor tersebut maka
dibutuhkan suatu adaptasi khusus yang harus dimiliki oleh biota yang berada
pada daerah intertidal untuk dapat terus bertahan dalam kondisi lingkungan yang
cukup ekstrim dimana beberapa parameter lingkungan seperti suhu, salinitas,
kadar oksigen, dan habitat dapat berubah secara signifikan.
Dalam bidang ekologi, adaptasi
berarti suatu proses evolusi yang menyebabkan organisme mampu hidup lebih baik
dibawah kondisi lingkungan tertentu dan sifat genetik yang membuat organisme
menjadi lebih mampu untuk bertahan hidup.
Organisme yang terdapat pada zona
intertidal ini telah beradaptasi terhadap lingkungan yang ekstrim. Pasokan air
secara reguler tercukupi dari pasang-surut air laut, namun air yang didapat
bervariasi dari air salin dari laut, air tawar dari hujan, hingga garam kering
yang tertinggal dari inundasi pasang surut, membuat biota yang berada di zona
ini harus beradaptasi dengan kondisi salinitas yang variatif. Suhu di zona
intertidal bervariasi, dari suhu yang panas menyengat saat wilayah terekspos
sinar matahari langsung, hingga suhu yang amat rendah saat iklim dingin. Zona
intertidal memiliki kekayaan nutrien yang tinggi dari laut yang dibawa oleh
ombak.
II.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Kawasan Intertidal
Menurut Nybakken (1988) menyatakan
bahwa zona intertidal (pasang-surut) merupakan daerah terkecil dari semua
daerah yang terdapat di samudera dunia. Merupakan pinggiran yang sempit sekali
hanya beberapa meter luasnya. Terletak di antara air tinggi dan air rendah.
Zona ini merupakan bagian laut yang mungkin paling banyak dikenal dan
dipelajari karena sangat mudah dicapai manusia. Hanya di daerah inilah
penelitian terhadap organisme perairan dapat dilaksanakan secara langsung
selama periode air surut, tanpa memerlukan peralatan khusus. Zona intertidal
telah diamati dan dimanfaatkan oleh manusia sejak prasejarah.
Menurut Nybakken, 1988. Susunan
faktor-faktor lingkungan dan kisaran yang dijumpai dizona intertidal sebagian
disebabkan zona ini berada diudara terbuka selama waktu tertentu dalam setahun,
dan kebanyakan faktor fisiknya menunjukkan kisaran yang lebih besar di udara
daripada di air. Selain itu, faktor-faktor lain adalah adanya substrat yang
berbeda-beda yaitu pasir, batu dan lumpur menyebabkan perbedaan fauna dan
struktur komunitas didaerah intertidal sama seperti lingkungan air tawar.
Serangga menjadi hal umum dicruger island. Serangga yang terdapat adalah epheraroptera,
trichoptera, coleoptera dan diptera.
Menurut Prajitno, 2009.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi lingkungan zona intertidal diantaranya
adalah :
Ø
Pasang-surut
yaitu naik turunnya permukaan air laut secara periodik selam interval waktu
tertentu. Pasang-surut merupakan faktor lingkungan paling penting yang
mempengaruhi kehidupan di zona intertidal. Tanpa adanya pasang-surut secara
periodik zona ini tidak berarti dan faktor lain akan kehilangan pengaruhnya.
Penyebab terjadinya pasang surut dan kisaran berbeda sangat kompleks dan
berhubungan degan interaksi tenaga penggerak pasang surut, matahari, bulan,
rotasi bumi dan geomorfologi samudra.
Ø
Suhu
mempengaruhi zona intertidal selama harian/ musiman. Kisaran ini dapat melebihi
batas toleransi.
Ø
Perubahan
salinitas yang dapat mempengaruhi organisme terjadi di zona intertidal melalui
dua cara. Pertama, karena zona intertidal terbuka pada saat pasang urun
kemudian digenangi air atau aliran air akibat ujan lebat, salinitas yang turun.
Kedua, ada hubungannya dengan genangan pasang surut, yaitu daerah yang
menampung air laut ketika pasang turun.
Ø
Gelombang
merupakan parameter utama dalam proses erosi atau sedimentasi besarnya erosi
tergantung pada besarnya energi dihempaskan oleh gelombang. Gelombang/ ombak
dibagi 2 macam yaitu ombak terjun dan ombak landai
Ø
Ombak
terjun biasanya terlihat dipantai yang lautnya terjal. Ombak ini mengulung
tinggi. Kemudian jatuh dengan bunyi yang keras dan bergemuruh.
Ø
Ombak
landai terbentuk di pantai yang dasar lautnya di landai. Sehingga bergulung ke
pantai agak jauh sebelum pecah.
B. Ekologi
Daerah Intertidal (pasang-surut)
Susunan faktor-faktor lingkungan dan kisaran
yang dijumpai di zona intertidal sebagian disebabkan zona ini berada di udara
terbuka selama waktu tertentu dalam setahun. Kebanyakan factor menunjukkan
kisaran yang lebih besar di udara daripada di air.
Secara
umum daerah intertidal sangat dipengaruhi oleh pola pasang dan surutnya air
laut, sehingga dapat dibagi menjadi tiga zona. Zona pertama merupakan daerah
diatas pasang tertinggi dari garis laut yang hanya mendapatkan siraman air laut
dari hempasan riak gelombang dan ombak yang menerpa daerah tersebut backshore
(supratidal), zona kedua merupakan batas antara surut terendah dan pasang
tertinggi dari garis permukaan laut (intertidal) dan zona ketiga adalah batas
bawah dari surut terendah garis permukaan laut (subtidal).
Sebagai akibat adanya perubahan
kondisi pasang dan kondisi surut airlaut dan akibat aktifitas ombak pantai,
menyebabkan kondisi fisik pantai akan selalu berubah baik secara temporal
maupun secara spasial. Perubahan secaratemporal membuat kondisi fisik pantai
akan berbeda dalam rentang waktu jam, hari, bulan maupun tahun. Perubahan
secara spasialmembuat kondisi fisik dapat berubah-ubahpada berbagai tempat
sekalipun jaraknya cukup berdekatan.
C.
Biota pada zona intertidal
Menurut Prajitno, 2009. Biota pada ekosistem
pantai berbatu adalah salah satu daerah ekologi yang paling familiar, habitat
dan interaksinya sudah diketahui oleh ilmuan, penelitian diadakan di pulau
cruger yang pantai utaranya merupakan (freshwater) air tawar dan berbatu. Fauna
pada pantai berbatu pulau cruger berkarakteristik dominan pada binatang air
tawar. Sebagian besar berupa Dipterans, Nematodes, Microannelida,
Gastropoda,Bivalves dan Flatworms secara keseluruhan, macroinvertebrate yang ada
di pantai ini berasal dari golongan Tubellaria, Nematoda, Oligochaeta,
Gastropoda, Dreissna, Acari, Amphipoda, Ephemeroptera, Trichoptera, coteoptera,
Ceratopogonidae, Chironomidae. Sama seperti lingkungan air tawar, serangga
menjadi hal umum dicruger Island. Serangga yang terdapat adalah Epheraroptera,
Trichoptera, coleoptera dan diptera.
Menurut Nybakken, 1988. Dilingkungan laut
khususnya diintertidal. Spesies yang berumur panjang cenderung terdiri dari
berbagai hewan inverbrata.hewan-hewan intertidal dominan yang menguasai ruang
selain Mytilus californianus yang terdapat dalam jumlah banyak di pesisir
pasifik adalah teritip Balanus Cariogus dan Balanus glandula. Dua spesies
tersebut terdapat melimpah di wilayah intertidal walaupun kenyataannya mereka
bersaing dengan M.californianus hal ini menyebabkan pertumbuhan teritip dapat
berlangsung dengan baik. Pisaster Ochraceus merupakan predator kerang yang
rakus sehingga secara efektif mencegah kerang menempati seluruh ruang.
Pantai yang terdiri dari batu-batuan
(rocky shore) merupakan tempat yang sangat baik nagi hewan-hewan atau
tumbuhan-tumbuhan yang dapat menempelkan diri pada lapisan ini. Golongan ini
termasuk banyak jenis gastropoda, moluska dan tumbuh-tumbuhan yang berukuran
besar. Dua spesies Uttorina undulata dan tectarius malaccensis, tinggal dan
hidup di bagian batas atas dari pantai di bawahnya berturut-turut ditempati
oleh jenis spesies lain monodonta labio dan Nerita undata. Kemudian oleh
cerithium morus dan turbo intercostalis. Akhirnya pada batas yang paling bawah
terdapat lambis-lambis dan trochus gibberula (Hutabarat, 2008).
D.
Pola adaptasi organism intertidal
Bentuk adaptasi adalah mencakup
adaptasi structural, adaptasi fisiologi, dan adaptasi tingkah laku. Adaptasi
structural merupakan cara hdup untuk menyesuaikan dirinya dengan mengembangkan
struktur tubuh atau alat-alat tubuh kearah yang lebh sesuai dengan keadaan
lingkungan dan keperluan hidup.
Adaptasi fisiologi adalah cara
makhluk hidup untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan cara penyesaian
proses-proses fisiologis dalam tubuhnya. Adaptasi tingkah laku adalah
respon-respon hewan terhadap kondisi lingkungan dalam bentuk perubahan tingkah
laku. (www.zonabawah.co.cc)
Organisme intertidal memilki
kemampuan untuk beradaptasi dngan kondisi lingkungan yang dapat berubah secara
signifikan, pola tersebut meliputi,
a).
Daya Tahan terhadap Kehilangan air
Organisme
laut berpindah dari air ke udara terbuka, mereka mulai kehilangan air.Mekanisme
yang sederhana untuk menghindari kehilangan air terlihat pada hewan-hewan yang
bergerak seperti kepiting dan anemon.
b).
Pemeliharaan Keseimbangan Panas
Organisme
intertidal juga mengalami keterbukaan terhadap suhu panas dan dingin yang
ekstrim dan memperlihatkan adaptasi tingkah laku dan struktur tubuh untuk
menjaga keseimbangan panas internal.
c).
Tekanan mekanik
Gerakan
ombakmempunyai pengaruh yang berbeda, pada pantai berbatu dan pada pantai berpasir. Untukmempertahankan posisi
menghadapi gerakan ombak, organism intertidal telah membentuk beberapa
adaptasi.
d).
Pernapasan
Diantara
hewan intertidal terdapat kecenderungan organ pernapasan yang mempunyai
tonjolan kedalam rongga perlindungan untuk mencegah kekeringan. Hal ini dapat
terlihat jelas pada berbagai moluska dimana insang terdapat pada rongga mantel
yang dilindungi cangkang.
e).
Cara Makan
Pada
waktu makan, seluruh hewan intertidal harus mengeluarkan bagian-bagian
berdaging dari tubuhnya. Karena ituseluruh hewan intertidal hanya aktif jika
pasang naik dan tubuhnyaterendam air. Hal ini berlaku bagi seluruh hewan baik
pemakan tumbuhan, pemakan bahan-bahan tersaring, pemakan detritus maupun
predator.
f
) Tekanan Salinitas
Zona
intertidal juga mendapat limpahan air tawar yang dapat menimbulkan masalah
tekanan osmotik bagi organisme intertidal yang hanya dapat menyesuaikan diri
denagn air laut. Kebanyakan tidak mempunyai mekanisme untuk mengontrol kadar
garam cairantubuhnya dan disebutosmokonformer. Adaptasi satu-satunya samadengan
adaptasi untuk melindungi dari kekeringan
g)
Reproduksi
Kebanyakan
organisme intertidal hidup menetap atau bahkanmelekat, sehingga dalam
penyebarannya mereka mmenghasilkan telur atau larva yang terapung bebas sebagai
plankton. Hampir semua organisme mempunyai daur perkembangbiakan yang seirama
dengan munculnya arus pasang surut
tertentu, seperti misalnya pada waktu pasang purnama.
Seperti telah dijelaskan diatas
bahwa daerah intertidal merupakan daerah yang memiliki variasi pasang-surut
yang regular, dimna di daerah tersebut pada suatu waktu terendam oleh air laut
dan pada awaktu yang lain akan surut dan terpapar ke udara bebas. Hal ini
menjadikan daerah tersebut memiliki salinitas dan suhu yang cukup bervariasi,
dan juga perubahan habitat saat terendam dan saat surut, sehingga dibutuhkan
suatu strategi adaptasi untuk dapat terus bertahan hidup. Adaptasi yang
dilakukan oleh kerang di daerah mangrove seperti Polymesoda erosa, P.coaxans
dan jenis lainnya biasanya meliputi adaptasi morfologi, fisilogi, dan tingkah
laku. Sebagai contoh, Polymesoda coaxans seperti halnya hewan dari kelas
Bivalvea lainnya mempunyai kemampuan hidup di daerah intertidal karena memiliki
kemampuan untuk mencegah kehilangan air. Kerang akan menutup rapat cangkangnya
yang kedap air, sehingga air tidak keluar dari tubuhnya Muslih (2008). Kerang
ini juga mempunyai kemampuan untuk membenamkan diri ke dalam substrat sebagai
upaya mengindarkan diri dari predator dan untuk mencari tempat yang lebih
lembab.
Nybakken et al (1988) menyatakan
bahwa beberapa jenis kerang, seperti Donax sp. dan Mytilus edulis, mempunyai
kemampuan hidup di daerah intertidal karena mempunyai kemampuan untuk mencegah
kehilangan air dengan cara membenamkan diri. Pada P. coaxans korelasi ini
terdapat pada ukuran lebar dan tebal cangkang dengan habitat hidupnya. P.
coaxans yang hidup pada tempat terbuka memiliki ukuran lebar dan tebal cangkang
yang lebih besar dibandingkan dengan P. coaxans yang hidup pada tempat
tertutup, dari hal tersebut dapat diasumsikan semakin besar dan tebal ukuran
cangkang maka kemungkinan untuk dimangsa predatornya rendah.
A.
Adaptasi terhadap suhu
Temperatur perairan merupakan salah
satu faktor abiotik yang mempunyai peranan penting dalam kehidupan dan
pertumbuhan, sebab temperatur berperan langsung dalam aktivitas dan proses
metabolisme bivalvia (Manzi dan Castagna, 1989; Bayne, 1976). Ironisnya
temperatur berbanding terbalik dengan kelarutan oksigen dalam air, padahal
meningkatnya temperatur akan meningkatkan aktivitas metabolisme dan
konsekuensinya akan meningkatkan kebutuhan oksigen. Proses perubahan temperatur juga berpengaruh
terhadap proses fisika dan kimia badan air. Temperatur juga sangat berperan dalam
mengendalikan kondisi ekosistem perairan.
Menurut Suprapto (2011) reaksi dari
perubahan tingkat metabolisme bivalvia ini menyebabkan respirasi meningkat dan
energi yang dikeluarkan turut meningkat. Bivalvia akan meningkatkan filtrasi
atau konsumsi makannya untuk mengimbangi energi yang hilang dan untuk
mengantisipasi keadaan lingkungan yang tidak menguntungkan dari perubahan
temperatur yang ekstrim. Jadi angka kecepatan filtrasi ikut dipengaruhi pula
oleh kondisi temperatur lingkungannya. Dalam hal ini dapat diasumsikan bahwa
temperatur dalam batasan normal tidak akan banyak memberikan pengaruh terhadap
laju filtrasi. Pada temperatur rendah, misalnya 5ºC bivalvia memiliki laju
filtrasi 1,64 l/jam, sementara pada temperatur tinggi (28ºC) laju filtrasinya
sebesar 5,82 l/jam. Pada akhirnya peningkatan temperatur menyebabakan
peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air yang selanjutnya
akan mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen
B.
Adaptasi
saat kekurangan oksigen keadaan anaerobiosis
Anaerobiosis sering terjadi saat
suasana pasang surut yang akan mengakibatkan naik turunnya permukaan laut. Pada
waktu surut, kelompok bivalvia tertentu akan terekspos ke udara terbuka dan
harus menyesuaikan diri karena tidak adanya makanan maupun oksigen. Menurut
Suprapto (2011) jika dalam kondisi ini maka memaksa bivalvia menyediakan
energinya dengan mengoksidasi secara enzimatis persediaan makanan yang berupa
jaringan tubuhnya. Proses perombakan jaringan akan diawali dengan membakar
karbohidrat, lemak, dan diakhiri dengan protein.
Dengan demikian, bivalvia masih
bisa bertahan hidup untuk jangka waktu tertentu dan apabila bivalvia telah
mengoksidasi protein, maka periode ini sudah tahapan yang berbahaya, karena
dapat menyebabkan mortalitas.
Kondisi anaerobiosis dapat juga
terangsang oleh adanya fluktuasi ekstrim temperatur, salinitas, serta
ketersediaan oksigen. Pada kerang Polymesoda cozxans dan bivalvia lainnya
aktifts yang akan dilakukan adalah dengan menutup cangkang agar tidak terjadi
dehidrasi. Hal ini setara dengan pernyataan Suprapto (2011) dimana pada
kondisi ini kedua cangkangnya akan menutup rapat-rapat sehingga
metabolisme didalam menyediakan energi dilaksanakan dengan kondisi anaerob,
karena insang (branchie) tidak berfungsi sehingga oksigen tidak dapat masuk ke
dalam tubuh.
Dalam suasana anaerobiosis, tingkat
metabolisme akan menurun drastis. Demikian juga tingkat proses penyediaan
energi, seperti pencernaan, penyerapan makanan, aktivitas otot, serta
pertumbuhan. Dengan kondisi ini dapat pula terjadi suatu proses yang disebut “konservasi energi”.
Menurut
Bayne et al. (1976) untuk perubahan temperatur yang sangat ekstrim, menyebabkan
terjadinya metabolisme anaerobik secara cepat.
III.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Zona intertidal yang dekat dengan
berbagai macam aktifitas manusia, dan mmeiliki lingkungan dengan dinamika yang
tinggi menjadikan kawasan ini sangat rentan terhadap gangguan. Kondisi ini
tentu saja akan berpengaruh terhadap segenap kehidupan di dalamnya. Pengaruh tersebut salah satunya dapat berupa
cara beradaptasi. Adaptasi ini diperlukan untuk mempertahankan hidup pada
lingkungan di zona intertidal. Keberhasilan beradaptasi akan menentukan
keberlangsungan organisme di zona intertidal.
Bentuk adaptasi adalah mncakup
adaptasi structural, adaptasi fisiologi, dan adaptasi tingkah laku. Adaptasi
structural merupakan cara hdup untuk menyesuaikan dirinya dengan mengembangkan
struktur tubuh atau alat-alat tubuh kearah yang lebh sesuai dengan keadaan
lingkungan dan keperluan hidup.
Adaptasi fisiologi adalah cara
makhluk hidup untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan cara penyesaian
proses-proses fisiologis dalam tubuhnya. Adaptasi tingkah laku adalah
respon-respon hewan terhadap kondisi lingkungan dalam bentuk perubahan tingkah
laku.
Pada
kerang Polymesoda coaxans pada umumnya beradaptasi pada lingkungan intertidal
dengan cara menutup rapat-rapat cangkang agar terhindar dari dehidrasi,
menampung sejumlah air dalam cangkangnya yang besar sebagai persediaan hidup,
saat seperti itu kerang tersebut melakukan adapatsi fisiologi dengan reaksi
enzimatis, dan pernafasan anaerob, serta mengkonversi bagian dalam tubuhnya
untuk bahan metabolisme.
DAFTAR
PUSTAKA
Bayne, B.L., Thompson,
R.J. and Widdows, J. 1976b. Physiology: I. In: Marine Mussels: Their Ecology
and Physiology (ed. B.L. Bayne), pp. 121-206. Cambridge University Press,
Cambridge.
Hartati, R.I Widowato,
dan Y. Ristiadi. 2005. Histologi Gonad Kerang Totok (Polymesoda erosa) dari
Laguna Segara Anakan Cilacap. Ilmu Kelautan, Vol. 10 (3): 119-125
Hutabarat,s
dan Steward,M.E.2008.Pengantar oseanografi.Universistas Indonesia.Jakarta.
Jueg, U. & Zettler,
M.L. (2004). Die Mollusca en fauna der Elbe in Mecklenburg-Vorpommern mit
Erstnachweis der Grobgerippten Körbchenmuschel Corbicula fluminea (O. F. Müller
1756). Mitteilungen der NGM 4(1):85-89.
Muslih.
2006. Biologi Kerang Totok (Donax sp.). Jurusan Perikanan dan Kelautan FST
Unsoed.
Nybakken,J.W.1988.Biologi
Laut . Pt Gramedia . Jakarta.
Prajitno.A.2009.Biologi
Laut.Universitas Brawijaya.Malang.
Sahirman,
1997. Keragaman dan Distribusi Mollusca di Kawasan Hutan Mangrove Nusa Karang
Kobar
Segara
Anakan Kbupaten Cilacap, Skripsi. Fakultas Biologi UNSOED, Purwokerto.
Suprapto,Joko. 2011.
Ekofsisiologi Bivalvia, Ekologi dan
Konsumsi Oksigen. Undip Press, UniversitasDiponegoro, Semarang.