Selasa, 27 November 2012

MAKALAH KERAGAMAN DAN ADPATASI BIOTA INTERTIDAL


I.             PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Zona intertidal adalah zona littoral yang secara reguler terkena pasang surut air laut, tingginya adalah dari pasang tertinggi hingga pasang terendah.  Didalam wilayah intertidal terbentuk banyak tebing-tebing, cerukan, dan gua, yang merupakan habitat yang sangat mengakomodasi organisme sedimenter.  Morfologi di zona intertidal ini mencakup tebing berbatu, pantai pasir, dan tanah basah / wetlands.
Keragaman faktor lingkungannya dapat dilihat dari perbedaan (gradient) dari faktor lingkungan secara fisik mempengaruhi terbentuknya tipe atau karakteristik komunitas biota serta habitatnya. Sejumlah besar gradien ekologi dapat terlihat pada wilayah intertidal yang dapat berupa daerah pantai berpasir, berbatu maupun estuari dengan substrat berlumpur. Perbedaan pada seluruh tipe pantai ini dapat dipahami melalui parameter fisika dan biologi lingkungan yang dipusatkan pada perubahan utamanya serta hubungan antara komponen biotik (parameter fisika-kimia lingkungan) dan komponen abiotik (seluruh komponen makhluk atau organisme) yang berasosiasi di dalamnya. Dari keregaman factor tersebut maka dibutuhkan suatu adaptasi khusus yang harus dimiliki oleh biota yang berada pada daerah intertidal untuk dapat terus bertahan dalam kondisi lingkungan yang cukup ekstrim dimana beberapa parameter lingkungan seperti suhu, salinitas, kadar oksigen, dan habitat dapat berubah secara signifikan.
Dalam bidang ekologi, adaptasi berarti suatu proses evolusi yang menyebabkan organisme mampu hidup lebih baik dibawah kondisi lingkungan tertentu dan sifat genetik yang membuat organisme menjadi lebih mampu untuk bertahan hidup.
Organisme yang terdapat pada zona intertidal ini telah beradaptasi terhadap lingkungan yang ekstrim. Pasokan air secara reguler tercukupi dari pasang-surut air laut, namun air yang didapat bervariasi dari air salin dari laut, air tawar dari hujan, hingga garam kering yang tertinggal dari inundasi pasang surut, membuat biota yang berada di zona ini harus beradaptasi dengan kondisi salinitas yang variatif. Suhu di zona intertidal bervariasi, dari suhu yang panas menyengat saat wilayah terekspos sinar matahari langsung, hingga suhu yang amat rendah saat iklim dingin. Zona intertidal memiliki kekayaan nutrien yang tinggi dari laut yang dibawa oleh ombak.



II.           PEMBAHASAN
A.   Pengertian Kawasan Intertidal

Menurut Nybakken (1988) menyatakan bahwa zona intertidal (pasang-surut) merupakan daerah terkecil dari semua daerah yang terdapat di samudera dunia. Merupakan pinggiran yang sempit sekali hanya beberapa meter luasnya. Terletak di antara air tinggi dan air rendah. Zona ini merupakan bagian laut yang mungkin paling banyak dikenal dan dipelajari karena sangat mudah dicapai manusia. Hanya di daerah inilah penelitian terhadap organisme perairan dapat dilaksanakan secara langsung selama periode air surut, tanpa memerlukan peralatan khusus. Zona intertidal telah diamati dan dimanfaatkan oleh manusia sejak prasejarah.
Menurut Nybakken, 1988. Susunan faktor-faktor lingkungan dan kisaran yang dijumpai dizona intertidal sebagian disebabkan zona ini berada diudara terbuka selama waktu tertentu dalam setahun, dan kebanyakan faktor fisiknya menunjukkan kisaran yang lebih besar di udara daripada di air. Selain itu, faktor-faktor lain adalah adanya substrat yang berbeda-beda yaitu pasir, batu dan lumpur menyebabkan perbedaan fauna dan struktur komunitas didaerah intertidal sama seperti lingkungan air tawar. Serangga menjadi hal umum dicruger island. Serangga yang terdapat adalah epheraroptera, trichoptera, coleoptera dan diptera.
Menurut Prajitno, 2009. Faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi lingkungan zona intertidal diantaranya adalah :
Ø  Pasang-surut yaitu naik turunnya permukaan air laut secara periodik selam interval waktu tertentu. Pasang-surut merupakan faktor lingkungan paling penting yang mempengaruhi kehidupan di zona intertidal. Tanpa adanya pasang-surut secara periodik zona ini tidak berarti dan faktor lain akan kehilangan pengaruhnya. Penyebab terjadinya pasang surut dan kisaran berbeda sangat kompleks dan berhubungan degan interaksi tenaga penggerak pasang surut, matahari, bulan, rotasi bumi dan geomorfologi samudra.
Ø  Suhu mempengaruhi zona intertidal selama harian/ musiman. Kisaran ini dapat melebihi batas toleransi.
Ø  Perubahan salinitas yang dapat mempengaruhi organisme terjadi di zona intertidal melalui dua cara. Pertama, karena zona intertidal terbuka pada saat pasang urun kemudian digenangi air atau aliran air akibat ujan lebat, salinitas yang turun. Kedua, ada hubungannya dengan genangan pasang surut, yaitu daerah yang menampung air laut ketika pasang turun.
Ø  Gelombang merupakan parameter utama dalam proses erosi atau sedimentasi besarnya erosi tergantung pada besarnya energi dihempaskan oleh gelombang. Gelombang/ ombak dibagi 2 macam yaitu ombak terjun dan ombak landai
Ø  Ombak terjun biasanya terlihat dipantai yang lautnya terjal. Ombak ini mengulung tinggi. Kemudian jatuh dengan bunyi yang keras dan bergemuruh.
Ø  Ombak landai terbentuk di pantai yang dasar lautnya di landai. Sehingga bergulung ke pantai agak jauh sebelum pecah.





B.     Ekologi Daerah Intertidal (pasang-surut)

 Susunan faktor-faktor lingkungan dan kisaran yang dijumpai di zona intertidal sebagian disebabkan zona ini berada di udara terbuka selama waktu tertentu dalam setahun. Kebanyakan factor menunjukkan kisaran yang lebih besar di udara daripada di air.
Secara umum daerah intertidal sangat dipengaruhi oleh pola pasang dan surutnya air laut, sehingga dapat dibagi menjadi tiga zona. Zona pertama merupakan daerah diatas pasang tertinggi dari garis laut yang hanya mendapatkan siraman air laut dari hempasan riak gelombang dan ombak yang menerpa daerah tersebut backshore (supratidal), zona kedua merupakan batas antara surut terendah dan pasang tertinggi dari garis permukaan laut (intertidal) dan zona ketiga adalah batas bawah dari surut terendah garis permukaan laut (subtidal).
Sebagai akibat adanya perubahan kondisi pasang dan kondisi surut airlaut dan akibat aktifitas ombak pantai, menyebabkan kondisi fisik pantai akan selalu berubah baik secara temporal maupun secara spasial. Perubahan secaratemporal membuat kondisi fisik pantai akan berbeda dalam rentang waktu jam, hari, bulan maupun tahun. Perubahan secara spasialmembuat kondisi fisik dapat berubah-ubahpada berbagai tempat sekalipun jaraknya cukup berdekatan.




C.   Biota pada zona intertidal

 Menurut Prajitno, 2009. Biota pada ekosistem pantai berbatu adalah salah satu daerah ekologi yang paling familiar, habitat dan interaksinya sudah diketahui oleh ilmuan, penelitian diadakan di pulau cruger yang pantai utaranya merupakan (freshwater) air tawar dan berbatu. Fauna pada pantai berbatu pulau cruger berkarakteristik dominan pada binatang air tawar. Sebagian besar berupa Dipterans, Nematodes, Microannelida, Gastropoda,Bivalves dan Flatworms secara keseluruhan, macroinvertebrate yang ada di pantai ini berasal dari golongan Tubellaria, Nematoda, Oligochaeta, Gastropoda, Dreissna, Acari, Amphipoda, Ephemeroptera, Trichoptera, coteoptera, Ceratopogonidae, Chironomidae. Sama seperti lingkungan air tawar, serangga menjadi hal umum dicruger Island. Serangga yang terdapat adalah Epheraroptera, Trichoptera, coleoptera dan diptera.
 Menurut Nybakken, 1988. Dilingkungan laut khususnya diintertidal. Spesies yang berumur panjang cenderung terdiri dari berbagai hewan inverbrata.hewan-hewan intertidal dominan yang menguasai ruang selain Mytilus californianus yang terdapat dalam jumlah banyak di pesisir pasifik adalah teritip Balanus Cariogus dan Balanus glandula. Dua spesies tersebut terdapat melimpah di wilayah intertidal walaupun kenyataannya mereka bersaing dengan M.californianus hal ini menyebabkan pertumbuhan teritip dapat berlangsung dengan baik. Pisaster Ochraceus merupakan predator kerang yang rakus sehingga secara efektif mencegah kerang menempati seluruh ruang.
Pantai yang terdiri dari batu-batuan (rocky shore) merupakan tempat yang sangat baik nagi hewan-hewan atau tumbuhan-tumbuhan yang dapat menempelkan diri pada lapisan ini. Golongan ini termasuk banyak jenis gastropoda, moluska dan tumbuh-tumbuhan yang berukuran besar. Dua spesies Uttorina undulata dan tectarius malaccensis, tinggal dan hidup di bagian batas atas dari pantai di bawahnya berturut-turut ditempati oleh jenis spesies lain monodonta labio dan Nerita undata. Kemudian oleh cerithium morus dan turbo intercostalis. Akhirnya pada batas yang paling bawah terdapat lambis-lambis dan trochus gibberula (Hutabarat, 2008).

D.   Pola adaptasi organism intertidal
Bentuk adaptasi adalah mencakup adaptasi structural, adaptasi fisiologi, dan adaptasi tingkah laku. Adaptasi structural merupakan cara hdup untuk menyesuaikan dirinya dengan mengembangkan struktur tubuh atau alat-alat tubuh kearah yang lebh sesuai dengan keadaan lingkungan dan keperluan hidup.
Adaptasi fisiologi adalah cara makhluk hidup untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan cara penyesaian proses-proses fisiologis dalam tubuhnya. Adaptasi tingkah laku adalah respon-respon hewan terhadap kondisi lingkungan dalam bentuk perubahan tingkah laku. (www.zonabawah.co.cc) 
Organisme intertidal memilki kemampuan untuk beradaptasi dngan kondisi lingkungan yang dapat berubah secara signifikan, pola tersebut meliputi,
a). Daya Tahan terhadap Kehilangan air
Organisme laut berpindah dari air ke udara terbuka, mereka mulai kehilangan air.Mekanisme yang sederhana untuk menghindari kehilangan air terlihat pada hewan-hewan yang bergerak seperti kepiting dan anemon.
b). Pemeliharaan Keseimbangan Panas
Organisme intertidal juga mengalami keterbukaan terhadap suhu panas dan dingin yang ekstrim dan memperlihatkan adaptasi tingkah laku dan struktur tubuh untuk menjaga keseimbangan panas internal.
c). ­Tekanan mekanik
Gerakan ombakmempunyai pengaruh yang berbeda, pada pantai berbatu dan pada pantai  berpasir. Untukmempertahankan posisi menghadapi gerakan ombak, organism intertidal telah membentuk beberapa adaptasi.
d). Pernapasan
Diantara hewan intertidal terdapat kecenderungan organ pernapasan yang mempunyai tonjolan kedalam rongga perlindungan untuk mencegah kekeringan. Hal ini dapat terlihat jelas pada berbagai moluska dimana insang terdapat pada rongga mantel yang dilindungi cangkang.
e). Cara Makan
Pada waktu makan, seluruh hewan intertidal harus mengeluarkan bagian-bagian berdaging dari tubuhnya. Karena ituseluruh hewan intertidal hanya aktif jika pasang naik dan tubuhnyaterendam air. Hal ini berlaku bagi seluruh hewan baik pemakan tumbuhan, pemakan bahan-bahan tersaring, pemakan detritus maupun predator.
f ) Tekanan Salinitas
Zona intertidal juga mendapat limpahan air tawar yang dapat menimbulkan masalah tekanan osmotik bagi organisme intertidal yang hanya dapat menyesuaikan diri denagn air laut. Kebanyakan tidak mempunyai mekanisme untuk mengontrol kadar garam cairantubuhnya dan disebutosmokonformer. Adaptasi satu-satunya samadengan adaptasi untuk melindungi dari kekeringan
g) Reproduksi
Kebanyakan organisme intertidal hidup menetap atau bahkanmelekat, sehingga dalam penyebarannya mereka mmenghasilkan telur atau larva yang terapung bebas sebagai plankton. Hampir semua organisme mempunyai daur perkembangbiakan yang seirama dengan munculnya arus  pasang surut tertentu, seperti misalnya pada waktu pasang purnama.



Seperti telah dijelaskan diatas bahwa daerah intertidal merupakan daerah yang memiliki variasi pasang-surut yang regular, dimna di daerah tersebut pada suatu waktu terendam oleh air laut dan pada awaktu yang lain akan surut dan terpapar ke udara bebas. Hal ini menjadikan daerah tersebut memiliki salinitas dan suhu yang cukup bervariasi, dan juga perubahan habitat saat terendam dan saat surut, sehingga dibutuhkan suatu strategi adaptasi untuk dapat terus bertahan hidup. Adaptasi yang dilakukan oleh kerang di daerah mangrove seperti Polymesoda erosa, P.coaxans dan jenis lainnya biasanya meliputi adaptasi morfologi, fisilogi, dan tingkah laku. Sebagai contoh, Polymesoda coaxans seperti halnya hewan dari kelas Bivalvea lainnya mempunyai kemampuan hidup di daerah intertidal karena memiliki kemampuan untuk mencegah kehilangan air. Kerang akan menutup rapat cangkangnya yang kedap air, sehingga air tidak keluar dari tubuhnya Muslih (2008). Kerang ini juga mempunyai kemampuan untuk membenamkan diri ke dalam substrat sebagai upaya mengindarkan diri dari predator dan untuk mencari tempat yang lebih lembab.
Nybakken et al (1988) menyatakan bahwa beberapa jenis kerang, seperti Donax sp. dan Mytilus edulis, mempunyai kemampuan hidup di daerah intertidal karena mempunyai kemampuan untuk mencegah kehilangan air dengan cara membenamkan diri. Pada P. coaxans korelasi ini terdapat pada ukuran lebar dan tebal cangkang dengan habitat hidupnya. P. coaxans yang hidup pada tempat terbuka memiliki ukuran lebar dan tebal cangkang yang lebih besar dibandingkan dengan P. coaxans yang hidup pada tempat tertutup, dari hal tersebut dapat diasumsikan semakin besar dan tebal ukuran cangkang maka kemungkinan untuk dimangsa predatornya rendah.

A.     Adaptasi terhadap suhu
Temperatur perairan merupakan salah satu faktor abiotik yang mempunyai peranan penting dalam kehidupan dan pertumbuhan, sebab temperatur berperan langsung dalam aktivitas dan proses metabolisme bivalvia (Manzi dan Castagna, 1989; Bayne, 1976). Ironisnya temperatur berbanding terbalik dengan kelarutan oksigen dalam air, padahal meningkatnya temperatur akan meningkatkan aktivitas metabolisme dan konsekuensinya akan meningkatkan kebutuhan oksigen. Proses  perubahan temperatur juga berpengaruh terhadap proses fisika dan kimia badan air. Temperatur juga sangat berperan dalam mengendalikan kondisi ekosistem perairan.
Menurut Suprapto (2011) reaksi dari perubahan tingkat metabolisme bivalvia ini menyebabkan respirasi meningkat dan energi yang dikeluarkan turut meningkat. Bivalvia akan meningkatkan filtrasi atau konsumsi makannya untuk mengimbangi energi yang hilang dan untuk mengantisipasi keadaan lingkungan yang tidak menguntungkan dari perubahan temperatur yang ekstrim. Jadi angka kecepatan filtrasi ikut dipengaruhi pula oleh kondisi temperatur lingkungannya. Dalam hal ini dapat diasumsikan bahwa temperatur dalam batasan normal tidak akan banyak memberikan pengaruh terhadap laju filtrasi. Pada temperatur rendah, misalnya 5ºC bivalvia memiliki laju filtrasi 1,64 l/jam, sementara pada temperatur tinggi (28ºC) laju filtrasinya sebesar 5,82 l/jam. Pada akhirnya peningkatan temperatur menyebabakan peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air yang selanjutnya akan mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen

B.    Adaptasi saat kekurangan oksigen keadaan anaerobiosis
Anaerobiosis sering terjadi saat suasana pasang surut yang akan mengakibatkan naik turunnya permukaan laut. Pada waktu surut, kelompok bivalvia tertentu akan terekspos ke udara terbuka dan harus menyesuaikan diri karena tidak adanya makanan maupun oksigen. Menurut Suprapto (2011) jika dalam kondisi ini maka memaksa bivalvia menyediakan energinya dengan mengoksidasi secara enzimatis persediaan makanan yang berupa jaringan tubuhnya. Proses perombakan jaringan akan diawali dengan membakar karbohidrat, lemak, dan diakhiri dengan protein.
Dengan demikian, bivalvia masih bisa bertahan hidup untuk jangka waktu tertentu dan apabila bivalvia telah mengoksidasi protein, maka periode ini sudah tahapan yang berbahaya, karena dapat menyebabkan mortalitas.
Kondisi anaerobiosis dapat juga terangsang oleh adanya fluktuasi ekstrim temperatur, salinitas, serta ketersediaan oksigen. Pada kerang Polymesoda cozxans dan bivalvia lainnya aktifts yang akan dilakukan adalah dengan menutup cangkang agar tidak terjadi dehidrasi. Hal ini setara dengan pernyataan Suprapto (2011)  dimana pada  kondisi ini kedua cangkangnya akan menutup rapat-rapat sehingga metabolisme didalam menyediakan energi dilaksanakan dengan kondisi anaerob, karena insang (branchie) tidak berfungsi sehingga oksigen tidak dapat masuk ke dalam tubuh.
Dalam suasana anaerobiosis, tingkat metabolisme akan menurun drastis. Demikian juga tingkat proses penyediaan energi, seperti pencernaan, penyerapan makanan, aktivitas otot, serta pertumbuhan. Dengan kondisi ini dapat pula terjadi suatu proses yang disebut konservasi energi.
Menurut Bayne et al. (1976) untuk perubahan temperatur yang sangat ekstrim, menyebabkan terjadinya metabolisme anaerobik secara cepat.



III.         PENUTUP
A.   Kesimpulan
Zona intertidal yang dekat dengan berbagai macam aktifitas manusia, dan mmeiliki lingkungan dengan dinamika yang tinggi menjadikan kawasan ini sangat rentan terhadap gangguan. Kondisi ini tentu saja akan berpengaruh terhadap segenap kehidupan di dalamnya.  Pengaruh tersebut salah satunya dapat berupa cara beradaptasi. Adaptasi ini diperlukan untuk mempertahankan hidup pada lingkungan di zona intertidal. Keberhasilan beradaptasi akan menentukan keberlangsungan organisme di zona intertidal.
Bentuk adaptasi adalah mncakup adaptasi structural, adaptasi fisiologi, dan adaptasi tingkah laku. Adaptasi structural merupakan cara hdup untuk menyesuaikan dirinya dengan mengembangkan struktur tubuh atau alat-alat tubuh kearah yang lebh sesuai dengan keadaan lingkungan dan keperluan hidup.
Adaptasi fisiologi adalah cara makhluk hidup untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan cara penyesaian proses-proses fisiologis dalam tubuhnya. Adaptasi tingkah laku adalah respon-respon hewan terhadap kondisi lingkungan dalam bentuk perubahan tingkah laku.
Pada kerang Polymesoda coaxans pada umumnya beradaptasi pada lingkungan intertidal dengan cara menutup rapat-rapat cangkang agar terhindar dari dehidrasi, menampung sejumlah air dalam cangkangnya yang besar sebagai persediaan hidup, saat seperti itu kerang tersebut melakukan adapatsi fisiologi dengan reaksi enzimatis, dan pernafasan anaerob, serta mengkonversi bagian dalam tubuhnya untuk bahan metabolisme.




DAFTAR PUSTAKA
Bayne, B.L., Thompson, R.J. and Widdows, J. 1976b. Physiology: I. In: Marine Mussels: Their Ecology and Physiology (ed. B.L. Bayne), pp. 121-206. Cambridge University Press, Cambridge.

Hartati, R.I Widowato, dan Y. Ristiadi. 2005. Histologi Gonad Kerang Totok (Polymesoda erosa) dari Laguna Segara Anakan Cilacap. Ilmu Kelautan, Vol. 10 (3): 119-125

Hutabarat,s dan Steward,M.E.2008.Pengantar oseanografi.Universistas Indonesia.Jakarta.

Jueg, U. & Zettler, M.L. (2004). Die Mollusca en fauna der Elbe in Mecklenburg-Vorpommern mit Erstnachweis der Grobgerippten Körbchenmuschel Corbicula fluminea (O. F. Müller 1756). Mitteilungen der NGM 4(1):85-89.

Muslih. 2006. Biologi Kerang Totok (Donax sp.). Jurusan Perikanan dan Kelautan FST Unsoed.


Nybakken,J.W.1988.Biologi Laut . Pt Gramedia . Jakarta.

Prajitno.A.2009.Biologi Laut.Universitas Brawijaya.Malang.

Sahirman, 1997. Keragaman dan Distribusi Mollusca di Kawasan Hutan Mangrove Nusa Karang Kobar

Segara Anakan Kbupaten Cilacap, Skripsi. Fakultas Biologi UNSOED, Purwokerto.

Suprapto,Joko. 2011. Ekofsisiologi Bivalvia, Ekologi  dan Konsumsi Oksigen. Undip Press, UniversitasDiponegoro, Semarang.